JEPANG – Citra Jepang sebagai negara futuristik dengan teknologi mutakhir ternyata hanya tampak di permukaan.
Di balik gemerlapnya toilet otomatis, robot humanoid, dan restoran sushi berban berjalan.
Jepang justru tertinggal dalam transformasi digital – bahkan menjadi sasaran empuk serangan siber.
Badan Kepolisian Nasional Jepang mengungkapkan bahwa kelompok peretas asal Tiongkok bernama MirrorFace telah menargetkan lembaga pemerintah dan perusahaan Jepang sejak 2019.
Serangan tersebut melibatkan 210 entitas, termasuk individu dan institusi penting, dengan tujuan mencuri data keamanan dan teknologi tinggi.
Salah satu dampaknya terlihat pada Desember lalu, ketika lebih dari 70 penerbangan Japan Airlines tertunda akibat gangguan sistem.
Pada 2023, serangan siber lainnya bahkan melumpuhkan pelabuhan terbesar di Jepang selama dua hari penuh.
“Serangan siber menghantam Jepang setiap 13–14 detik sekali,” ujar Motohiro Tsuchiya, profesor dari Sekolah Pascasarjana Media dan Tata Kelola Universitas Keio, seperti dikutip dari CNA, Minggu (20/7/2025).
Meski berbagai negara juga menghadapi tantangan keamanan siber, Jepang dinilai sangat rentan.
Dalam peringkat daya saing digital global tahun lalu, Negeri Sakura hanya menempati posisi ke-31, jauh di bawah negara-negara maju lainnya.
Salah satu alasannya adalah adopsi teknologi digital yang lambat dan masih dominannya penggunaan sistem konvensional.
Toshio Nawa, Kepala Teknologi Nihon Cyber Defence, menyebut bahwa organisasi di Jepang belum cukup bergantung pada teknologi informasi.
Fakta mengejutkan, sebanyak 77 persen sekolah di Jepang masih menggunakan mesin faks, dan 40 persen masyarakat Jepang dalam survei 2023 mengaku masih menggunakannya.
Bahkan, baru bulan lalu pemerintah Jepang secara resmi menghentikan penggunaan disket untuk pengiriman dokumen-14 tahun setelah disket terakhir diproduksi.
Pemandangan ini berbanding terbalik dengan ekspektasi wisatawan yang membayangkan Jepang sebagai negeri serba digital.
Kotaro Tamura, asisten profesor di Lee Kuan Yew School of Public Policy, mengungkapkan bahwa banyak wisatawan terkagum-kagum melihat teknologi Jepang, namun tak menyangka sistem di balik layar masih sangat tradisional.
“Jepang unggul dalam membangun perangkat keras, tapi lemah dalam hal yang tidak kasat mata seperti sistem dan perangkat lunak,” ungkap Tamura.
Pandemi COVID-19 sempat menjadi momentum yang memaksa Jepang untuk mengejar ketertinggalannya. Namun, hasilnya belum optimal.
Sebuah studi pada 2019 menunjukkan hanya 7,5 persen dari hampir 56 ribu prosedur administrasi yang bisa dilakukan sepenuhnya secara daring.
Sementara itu, “hanko”, stempel pribadi pengganti tanda tangan, masih banyak digunakan, meski pemerintah telah menghapus kewajiban ini dari 14.700 prosedur pada 2020.
Hingga kini, 83 prosedur masih mensyaratkan penggunaan hanko, termasuk pendaftaran kendaraan dan perusahaan.
Budaya tradisional Jepang menjadi salah satu hambatan utama dalam proses digitalisasi. “Orang Jepang cenderung menghindari ketidakpastian.
Mereka lebih memilih sistem lama yang stabil dan teruji daripada teknologi baru,” jelas Nawa. Istilah “sistem warisan” dalam dunia teknologi menggambarkan kondisi ini.
Faktor demografi turut memperparah kondisi. Dengan hampir 30 persen penduduk berusia di atas 65 tahun, antusiasme terhadap digitalisasi pun rendah.
Studi tahun 2021 menunjukkan bahwa sepertiga warga berusia 50 hingga 79 tahun enggan beralih ke sistem digital. Mirisnya, generasi muda pun tak menjadi motor perubahan.
“Banyak anak muda yang mengikuti budaya lama dan memilih cara-cara tradisional,” kata Nawa.
Seorang penerjemah, Yuriko, mengisahkan pengalamannya mencoba memperbarui alamat lewat portal digital pemerintah My Number.
“Saya khawatir salah mengisi formulir. Datang langsung ke kantor pemerintahan masih jadi pilihan tercepat,” katanya.
Di sektor usaha kecil dan menengah (UKM) – yang mencakup 99 persen perusahaan di Jepang-proses digitalisasi juga tersendat. Menurut Japan Institute for Promotion of Digital Economy and Community, hampir seperempat UKM dengan kurang dari 300 karyawan belum memulai digitalisasi sama sekali.
Bahkan, enam dari sepuluh UKM dengan kurang dari 100 pegawai tidak memiliki tim khusus untuk transformasi digital.
Kondisi diperparah oleh rendahnya kesadaran keamanan siber di kalangan eksekutif perusahaan.
“Sebagian besar pimpinan perusahaan lebih fokus pada operasional harian dan tidak merasakan urgensi soal risiko teknologi informasi,” pungkas Nawa. (*/Wahdi)